Home > Pojok Inspirasi Smamplussa
SMA Muhammadiyah (PLUS) Boarding School Salatiga
9 September 2025
--------------------------------------------------------------------------------------
Home > Pojok Inspirasi Smamplussa
SMA Muhammadiyah (PLUS) Boarding School Salatiga
9 September 2025
--------------------------------------------------------------------------------------
Farrah Zakiyah Anwar, M.Pd.
(Guru Bahasa Inggris)
Penggunaan bahasa gaul yang mengandung plesetan kata-kata kasar seperti “anjir”, “tolol”, “dungu”, “bodoh” ataupun panggilan “elu” dan “gue” kini menjadi tren di kalangan remaja. Bahasa ini dianggap keren dan menjadi gaya bicara anak muda, terutama yang ingin tampil sebagai “orang kota” atau modern. Namun, tren ni memiliki sisi negatif yang belum sepenuhnya disadari.
Bahasa plesetan ini sebenarnya berasal dari kata sehari-hari yang diubah agar terdengar lebih santai dan gaul. Misalnya, “elo” dan “gue” menggantikan kata baku “kamu” dan “saya”. Kata kasar seperti “anjir”, “tolol”, “dungu” atau “bodoh” sering dipakai untuk mengekspresikan emosi atau sebagai ejekan yang dianggap lucu. Meski terlihat santai, penggunaan kata-kata ini dapat menimbulkan dampak yang serius.
Salah satu dampak besar adalah masalah citra diri. Remaja yang memakai plesetan ini sering merasa lebih keren dan eksis karena bahasanya yang unik. Mereka mengasosiasikan gaya bicara seperti itu dengan kelompok “orang kota” yang dinilai lebih hits dan keren. Namun, kenyataannya bahasa tersebut tidak mencerminkan kecerdasan atau kelas sosial. Justru, hal itu dapat mengurangi kesopanan dan tata krama dalam komunikasi, serta memengaruhi cara pandang orang lain, terutama dalam situasi formal seperti sekolah atau keluarga.
Tak hanya itu, plesetan kasar ini memperluas penggunaan bahasa yang tidak santun dan kurang menghargai orang lain. Bahasa kasar yang sebenarnya harus dihindari malah mejadi sah dan biasa dipakai. Hal ini dapat mengikis nilai kesantunan dan etika sosial yang penting dalam berinteraksi. Remaja yang terbiasa dengan gaya bahasa seperti itu akan sulit berkomunikasi dengan efektif dan harmonis dalam masyarakat luas karena sebagian besar plesetan tersebut sudah mendarah daging dan menjadi habit bagi remaja yag jelas akan berdampak negatif pada prestasi akademik dan karir mereka di masa depan.
Lebih jauh, menganggap bahasa yang keren itu sebagai ciri “orang kota” justru keliru dan menimbulkan salah paham. Identitas “orang kota” lebih tepat dibentuk dari sikap, wawasan dan kemampuan beradaptasi yang baik, bukan hanya dari gaya bicara kasar. Banyak pengguna bahasa plesetan kasar itu sebenarnya bukan berasal dari kota besar, sehingga bahasa tersebut bukan cerminan identitas asli mereka. Hal ini bisa membuat konsep diri menjadi salah dan membingungkan.
Oleh karena itu, peran orang tua, pendidik dan masyarakat sangat penting untuk memberikan edukasi yang tepat kepada remaja terkait penggunaan bahasa. Mereka perlu dibimbing untuk memilih bahasa gaul yang tetap sopan dan menghormati orang lain. Pendampingan harus dilakukan dengan pendekatan yang adaptif, bukan sekedar melarang tapi memberikan alternatif bahasa yan kreatif dan positif.