Home > Pojok Inspirasi Smamplussa
SMA Muhammadiyah (PLUS) Boarding School Salatiga
30 Januari 2024
--------------------------------------------------------------------------------------
Home > Pojok Inspirasi Smamplussa
SMA Muhammadiyah (PLUS) Boarding School Salatiga
30 Januari 2024
--------------------------------------------------------------------------------------
Belum lama ini, ketiga calon presiden Republik Indonesia diundang oleh Presiden Joko Widodo untuk makan siang di Istana Negara. Ketiganya tampak berwibawa mengenakan kemeja batik dengan motif yang hampir sama. Nah, taukah sobat Smamplussa bahwa motif batik yang dikenakan ketiga bakal calon presiden tersebut dulunya merupakan motif batik larangan?
Batik merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang telah diakui dunia. Di Jawa, khususnya Surakarta dan Yogyakarta, terdapat motif batik yang dikenal dengan sebutan batik larangan. Bagi masyarakat Jawa sendiri, batik bukan hanya sekedar fashion, namun juga sarat akan filosofi dan kepercayaan yang dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari. Batik juga menjadi simbol kebesaran bagi seorang pemimpin.
Awalnya, batik hanya dibuat di kalangan keraton dan hanya dikenakan oleh keluarga keraton dan punggawa. Punggawa yang tinggal di luar keraton kemudian membawanya keluar. Keluarga mereka membuatnya di tempat mereka masing-masing. Lama-kelamaan, seni batik ditiru oleh masyarakat umum dan selanjutnya menjadi pekerjaan kaum wanita di waktu senggang. Lambat laun, batik yang tadinya hanya dikenakan oleh keluarga keraton, menjadi pakaian rakyat yang disukai baik pria maupun wanita. (Wahyu, 2012: 7)
Mulai akhir abad ke-18, Sultan Yogyakarta dan Sunan Surakarta menentukan beberapa motif batik sebagai motif larangan (Wastraprema, 1990: 36). Batik larangan itu dijadikan sebagai pakaian kebesaran (busana keprabon) di kalangan bangsawan keraton. Pada dasarnya, batik larangan adalah batik-batik tertentu yang dilarang pemakaiannya untuk masyarakat umum dan hanya khusus diperuntukkan bagi kalangan terbatas dalam masyarakat keraton saja. Pembuatan batik larangan membutuhkan keterampilan dan ketelitian yang tinggi. Hal inilah yang membuat batik larangan menjadi sangat eksklusif.
Batik yang dipakai oleh kaum bangsawan umumnya dibuat dengan mempertimbangkan makna filosofi yang tinggi. Salah satu motif batik larangan adalah motif parang rusak. Parang rusak berasal dari kata parang dan rusak. Kata parang memiliki makna ‘belati’ atau ‘pisau’, sedangkan rusak berarti ‘hancur’ atau ‘binasa’. Motif ini diciptakan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo karena kegemarannya pada peperangan. Pengertian peperangan dalam alam pikiran orang Jawa tidak hanya semata-mata perang secara fisik, namun juga perang melawan nafsu jahat yang hidup dalam diri manusia. Motif parang juga mempunyai makna filosofis sebagai lambang kekuatan, kebesaran, kewibawaan, dan gerak cepat (Indreswari, 2014). Motif parang berbentuk lereng atau garis-garis miring dengan ukuran tertentu.
(Motif batik parang rusak)
Motif batik parang menjadi pedoman utama untuk menentukan derajat kebangsawanan seseorang. Motif parang rusak hanya diperbolehkan untuk raja, permaisuri, dan putra mahkota. Motif parang rusak barong untuk raja, parang rusak gendreh untuk permaisuri, dan parang rusak klitik untuk putra mahkota. Susunan motif kain tersebut menunjukkan adanya hierarki dan status sosial. Masing-masing dibedakan dengan ukurannya. Semakin besar ukuran motif parang, maka semakin tinggi pula kedudukan pemakainya.
(Kain parang rusak barong ukuran 10cm dikenakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII)
Di masa sekarang, motif batik larangan tidak hanya eksklusif milik bangsawan keraton saja, namun telah ditransformasikan menjadi milik masyarakat. Motifnya banyak diproduksi oleh pengusaha batik dan dipakai oleh semua orang. Walaupun demikian, batik larangan tetap harus dilestarikan sebab batik larangan merupakan kekayaan lokal bangsa yang mempunyai makna filosofis tinggi dalam pembuatannya.
Daftar Rujukan
Indreswari, A.G. (2014). Batik Larangan di Keraton Yogyakarta pada Masa Pemerintahan Sri Sultan HB VII. Corak: Jurnal Seni Kriya, 3(2): 169 – 178.
Wahyu, A. (2012). Chick in Batik. Jakarta: Erlangga
Wastraprema. (1990). Sekaring Jagad Ngayogyakarta Hadiningrat. Yogyakarta: Himpunan Pecinta Kain Batik dan Tenun.